Site icon SMP NEGERI 1 ANJATAN

Di Balik Hujan dan Hardik di Stasiun Tigaraksa, Bukan Sekadar Premanisme

Stasiun Tigaraksa

Stasiun Tigaraksa

Insiden pengusiran ibu dan anak di Stasiun Tigaraksa bukan sekadar arogansi, melainkan potret muram perang ekonomi ojek pangkalan dan online. Sebuah cerita tentang keterdesakan di tengah hujan.

Hujan sore itu seharusnya menjadi penutup hari yang syahdu bagi seorang ibu dan anaknya. Namun, di gerbang peradaban bernama Stasiun Tigaraksa, rintik air dari langit justru menjadi saksi bisu sebuah drama kemanusiaan yang dingin dan menusuk. Sebuah drama yang viral bukan karena kejahatannya semata, melainkan karena ia menelanjangi luka lama yang terus menganga di banyak sudut kota: perang antara yang manual dan yang digital.

Peristiwa pengadangan taksi online oleh tiga oknum ojek pangkalan (opang) yang memaksa seorang ibu dan balitanya turun di tengah hujan, sekilas adalah potret arogansi klasik. Tiga pria dewasa, merasa berkuasa atas teritori selebar beberapa puluh meter, menggertak pengemudi dan mengusir penumpang yang tak berdaya. Rekaman video yang menyebar cepat laksana api di musim kemarau sukses memantik amarah publik. Selesai? Tidak. Mari kita lihat lebih dalam.

Ini bukan cerita tentang tiga preman. Ini adalah cerita tentang keterdesakan. Stasiun Tigaraksa, layaknya ribuan stasiun, terminal, dan pangkalan lainnya di Indonesia, telah berubah menjadi medan perang sunyi. Di satu sisi, ada ojek pangkalan yang puluhan tahun menjadikan area itu sebagai satu-satunya ladang penghidupan. Mereka menanti dalam ketidakpastian, mengandalkan peruntungan dan kesetiaan pelanggan yang kian tergerus zaman.

Di sisi lain, ada aplikasi hijau yang menawarkan kepastian tarif, kemudahan pemesanan, dan kenyamanan yang tak bisa ditawar. Ia adalah disrupsi, sang penghancur tatanan lama. Bagi si ibu dan anaknya, memesan taksi online adalah pilihan logis untuk sebuah kenyamanan di tengah cuaca tak bersahabat. Bagi pengemudi taksi online, ini adalah algoritma yang menuntunnya pada rezeki.

Namun bagi ketiga opang itu, kedatangan mobil berstiker aplikasi di “zona merah” mereka adalah ancaman eksistensial. Itu bukan lagi soal berbagi rezeki, melainkan soal eksistensi dapur yang terancam berasap. Aksi mereka, yang secara hukum dan etika jelas salah total, adalah letupan dari keputusasaan yang terpendam lama. Sebuah teriakan primitif di tengah deru modernisasi yang tak kenal ampun.

Aparat kepolisian bergerak cepat. Ketiga pelaku diidentifikasi, diciduk, dan proses mediasi pun digelar. Permintaan maaf di atas materai telah diteken, tangis penyesalan mungkin tulus adanya, dan sang ibu korban pun berbesar hati memaafkan. Kasus ditutup dengan skema restorative justice. Secara prosedural, semua selesai.

Akan tetapi, apakah secarik kertas dan jabat tangan itu mampu memadamkan api dalam sekam? Tentu tidak. Selama akar masalahnya—kesenjangan adaptasi ekonomi—tidak dicarikan solusi yang komprehensif, insiden serupa hanyalah bom waktu yang menunggu pemicu berikutnya. Hujan di Stasiun Tigaraksa mungkin telah reda, para pelaku telah meminta maaf. Namun mendung tebal pertarungan antara dua era masih menggantung, menanti hujan badai selanjutnya di sudut stasiun-stasiun lain yang sama-sama menggigil kedinginan.

Exit mobile version