Gempa Kabupaten Bekasi menjadi pengingat tak terduga akan adanya potensi ancaman seismik di kawasan industri vital. Peristiwa ini menuntut peningkatan kewaspadaan dan mitigasi bencana di wilayah megapolitan.
Sebuah guncangan seismik berkekuatan magnitudo 2,6 menyapa warga Kabupaten Bekasi dan sekitarnya pada Senin petang, 14 Juli 2025. Getarannya memang tak merusak, namun kehadirannya di kedalaman 18 kilometer menjadi sebuah pengingat geologis yang tak bisa diabaikan. Peristiwa ini bukan sekadar berita sesaat, melainkan sebuah sinyal peringatan dini bagi salah satu kawasan paling padat dan vital di Indonesia.
Awalnya, banyak spekulasi mengarah pada Sesar Baribis sebagai biang keladi gempa. Sesar aktif yang membentang dari timur hingga barat Pulau Jawa ini memang telah lama menjadi fokus perhatian para ahli. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan analisis yang berbeda dan justru lebih mengejutkan.
Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menegaskan bahwa gempa kabupaten bekasi tersebut kemungkinan besar dipicu oleh aktivitas sesar naik busur belakang Jawa Barat (West Java back-arc thrust). Ini adalah sebuah struktur geologis yang terbentuk akibat tekanan tidak langsung dari tumbukan lempeng Indo-Australia di selatan. Gaya kompresi ini merambat ke utara, mengaktifkan kembali sesar-sesar tua yang selama ini “tertidur” di bawah dataran rendah utara Jawa.
Fakta ini membuka sebuah sudut pandang baru yang krusial. Jika selama ini kewaspadaan seismik banyak terfokus pada Sesar Baribis di selatan, kini wilayah utara—yang merupakan jantung industri nasional dan rumah bagi jutaan jiwa—terbukti menyimpan potensi gempanya sendiri. Getaran di Bekasi adalah bukti nyata bahwa tekanan tektonik di bawah tanah sedang bekerja dan mampu melepaskan energi sewaktu-waktu.
Implikasinya sangat serius. Kabupaten Bekasi dan kawasan sekitarnya adalah rumah bagi ribuan pabrik, infrastruktur kritis, dan populasi yang sangat padat. Sebuah gempa dengan kekuatan lebih besar di lokasi yang sama bisa memicu dampak berantai yang melumpuhkan, mulai dari kerusakan bangunan, gangguan produksi industri, hingga krisis kemanusiaan.
Oleh karena itu, gempa kabupaten bekasi ini harus menjadi momentum untuk re-evaluasi. Perdebatan mengenai nama sesar mana yang aktif menjadi kurang relevan dibandingkan dengan langkah nyata yang harus diambil. Sudah saatnya pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat luas di koridor Jakarta-Bekasi meningkatkan standar mitigasi bencana.
Ini bukan lagi tentang “apakah” gempa bisa terjadi, melainkan “kapan” dan “seberapa siap kita”. Penguatan konstruksi bangunan sesuai standar tahan gempa, edukasi publik yang masif mengenai cara penyelamatan diri, serta penyusunan rencana kontingensi yang detail untuk sektor industri adalah langkah-langkah yang tidak bisa ditawar lagi.
Guncangan kecil di Bekasi kemarin adalah sebuah kemewahan—sebuah peringatan yang datang tanpa menimbulkan korban. Mengabaikan sinyal tenang ini akan menjadi kelalaian yang bisa dibayar mahal di masa depan. Kawasan megapolitan Jabodetabek harus terbangun dari tidurnya dan menyadari bahwa ancaman geologis ada di bawah kaki mereka.