Konflik Kamboja-Thailand! Saat Diplomasi Senyap Indonesia Menjadi Juru Selamat ASEAN

konflik Kamboja-Thailand

Melihat kembali peran krusial Indonesia dalam meredam konflik Kamboja-Thailand. Diplomasi intensif ini menjadi bukti dan cetak biru bagi penyelesaian sengketa di masa depan Asia Tenggara.

Di tengah riuh rendahnya sengketa geopolitik masa kini, dari Laut China Selatan hingga krisis Myanmar, ada satu babak sejarah ASEAN yang sering terlupa namun kian relevan. Ia bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah cetak biru tentang cara memadamkan api sebelum ia sempat melahap seluruh rumah. Babak itu bernama konflik Kamboja-Thailand.

Mari kita putar waktu sejenak ke awal dekade 2010-an. Di perbatasan dua negara anggota ASEAN, senapan menyalak. Tentara saling berhadapan. Kuil Preah Vihear, sebuah warisan dunia yang seharusnya menjadi simbol keagungan peradaban, justru menjadi pusat sengketa berdarah. Ini bukan lagi sekadar klaim teritorial; ini adalah ujian paling krusial bagi kredo ASEAN: menyelesaikan masalah di antara keluarga sendiri. Dunia menatap, skeptis. ASEAN dipertaruhkan kredibilitasnya.

Di saat genting itulah, Indonesia melangkah maju, bukan dengan unjuk kekuatan militer, melainkan dengan kekuatan diplomasi yang paling fundamental. Di bawah komando Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa, Jakarta tidak hanya mengeluarkan rilis pers berisi “keprihatinan mendalam”. Indonesia menjadi arsitek perdamaian.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah masterclass dalam diplomasi modern. Jakarta mengubah perannya dari sekadar Ketua ASEAN menjadi mediator aktif. Dimulailah sebuah “diplomasi ulang-alik” yang intens. Marty Natalegawa terbang bolak-balik antara Jakarta, Bangkok, dan Phnom Penh, membawa pesan, menenangkan ego, dan merajut kembali benang kepercayaan yang nyaris putus. Ini bukan diplomasi di atas karpet merah; ini adalah kerja sunyi di ruang-ruang tegang yang hasilnya menentukan hidup dan mati.

Puncaknya adalah ketika Indonesia berhasil meyakinkan kedua belah pihak untuk menerima tim peninjau dari Indonesia di zona konflik. Ini adalah sebuah terobosan. Untuk pertama kalinya dalam konflik Kamboja-Thailand, ada pihak ketiga dari “keluarga” ASEAN yang hadir secara fisik untuk mendinginkan situasi. Kehadiran tim peninjau ini secara efektif menghentikan baku tembak dan memaksa kedua negara kembali ke meja perundingan.

READ  Kedekatan Trump dan Prabowo Terjalin Usai Penurunan Tarif Indonesia Menjadi 19%

Kisah ini lebih dari sekadar keberhasilan menengahi konflik Kamboja-Thailand. Ini adalah bukti konsep. Bukti bahwa prinsip non-intervensi ASEAN bisa dilenturkan dengan kepemimpinan yang cerdas tanpa harus mengorbankan kedaulatan. Ini adalah cetak biru yang menunjukkan bahwa ketika seorang “saudara tua” mengambil inisiatif dengan tulus, solusi damai bukanlah utopia.

Hari ini, saat tantangan regional semakin kompleks, pelajaran dari Preah Vihear menjadi semakin penting. Ia mengingatkan kita bahwa kepemimpinan Indonesia di kawasan tidak diukur dari kekuatan ekonominya semata, tetapi dari keberaniannya menjadi juru damai. Warisan sesungguhnya dari konflik itu bukanlah kuil batu yang diperebutkan, melainkan pemahaman bahwa di saat paling genting, suara penengah bisa menjadi musik paling merdu: musik perdamaian.

Written by 

SMP NEGERI 1 ANJATAN adalah sekolah menengah pertama negeri yang berdiri di kota indramayu. Sekolah ini telah melewati proses penilaian akreditasi A yang memastikan bahwa lolos standard nasional perguruan tinggi. Selain itu, Terdapat visi & misi untuk mewujudkan pendidikan yang menghasilkan siswa prestasi dan lulusan berkualitas tinggi yang perduli dengan lingkungan hidup.