Sebuah ular weling menyelinap ke kamar tidur di Pekalongan, mengubah tempat teraman menjadi saksi bisu tragedi. Kisah pilu ini menjadi pengingat tentang bahaya yang tersembunyi.
Kamar tidur seharusnya menjadi benteng terakhir kita, sebuah surga personal tempat lelah ditumpahkan dan mimpi dirajut. Namun, bagi seorang bocah lelaki berusia 10 tahun di Dukuh Botosari, Pekalongan, ruang paling privat itu justru menjelma menjadi arena pertarungan senyap melawan algojo kecil berdarah dingin, ular weling.
Malam itu, tak ada firasat buruk yang menggantung di udara. F (nama inisial korban), seperti anak-anak lain seusianya, bersiap untuk terlelap di ranjangnya. Namun, sebuah sentuhan aneh di tangannya memecah rutinitas. Secara refleks, ia mengibaskan benda yang terasa asing itu. Seketika, rasa sakit yang tajam menusuk ibu jarinya. Di sanalah, di atas kasur yang seharusnya empuk dan aman, seekor ular kecil dengan belang hitam-putih ikonik telah meninggalkan ciuman mautnya.
Ironi tragis dimulai dari sini. Keluarga, yang melihat ukuran ular yang tak seberapa, mungkin menganggapnya sekadar “ular lidi” atau jenis lain yang tak berbahaya. Sebuah kekeliruan fatal yang harus dibayar mahal. Alih-alih dilarikan ke fasilitas medis, langkah pertama yang ditempuh adalah membawanya ke “orang pintar” setempat.
Sementara waktu terus berjalan tanpa ampun, neurotoksin dari bisa ular weling mulai bekerja secara sistematis dan senyap. Racun itu tak merusak jaringan di lokasi gigitan, melainkan langsung menyerbu sistem saraf pusat. Tak lama, tubuh kecil F mulai menunjukkan gejalanya: kejang-kejang. Kepanikan pun meledak. Baru saat itulah ia dilarikan ke RSUD Bendan, Kota Pekalongan.
Para tenaga medis di ruang ICU berjuang sekuat tenaga. Namun, mereka berpacu dengan musuh yang telah lebih dulu mencapai garis finis. Keterlambatan penanganan awal membuat bisa itu telah menyebar luas, melumpuhkan fungsi-fungsi vital tubuhnya. Setelah beberapa hari bertarung, nyawa F tak terselamatkan. Ia mengembuskan napas terakhir, meninggalkan duka mendalam dan sebuah pelajaran pahit.
Kisah F bukan sekadar berita duka. Ini adalah pengingat keras bahwa bahaya paling mematikan terkadang datang dalam wujud yang paling tak terduga dan di tempat yang kita anggap paling aman. Ular weling (Bungarus candidus), dengan sifatnya yang nokturnal dan kerap menyelinap ke dalam rumah untuk mencari mangsa seperti cicak, adalah predator senyap. Gigitannya sering kali tidak terasa sakit luar biasa, namun bisanya adalah salah satu yang paling poten di dunia.
Tragedi di Pekalongan ini menggarisbawahi satu hal krusial: dalam menghadapi gigitan ular, terutama ular weling, setiap detik adalah emas. Pengetahuan untuk segera menuju fasilitas medis yang memiliki Serum Anti Bisa Ular (SABU) adalah satu-satunya jalan, mengalahkan mitos dan penanganan tradisional yang terbukti tak efektif. Karena pada akhirnya, musuh yang sebenarnya bukanlah ular di atas ranjang, melainkan jeda waktu antara gigitan dan penanganan medis yang tepat.